Pages

Senin, 09 Desember 2013

Imajinasi

Hari ini ketakutan saya bertamah tiga tingkat. Ketakutan saya sebagai manusia yang hidup di saat moral berada di tingkat -0. Sikap saling menghargai antar sesama yang berada di -1, dan segala aspek yang baik-baik berada di kondisi minus. Alah gila betul, saya langsung berpikir bagaimana kondisi anak saya nanti? Yang rasa ketakutannya selalu bertambah setiap hari, dan bertambah sepuluh tingkat setiap harinya.

Saya membayangkan kondisi lima tahun lagi, ketika saya melahirkan anak saya, seperti apa wajah dokter yang membantu saya melahirkan? Dan seperti apa teknologi yang dipergunakannya? Apakan berujung membuat anak saya luka-luka atau kondisi vagina saya yang tak lagi berbentuk, yang disebabkan teknologi yang digunakan. Aih...



Dan, lalu anak saya tumbuh, saya takut dia tidak akan meminta saya membacakan dongeng, sebab sudah ada aplikasi yang bisa membuatnya mendengarkan dongeng-dongeng yang dikarang H.C Andersen. Lantas, buku yang saya beli yang menceritakan dongeng anak-anak akan sia-sia.

Ngeri, anak saya akan menjadi generasi membungkuk. Tak bisa sosialisasi. Karena jika ingin bertanya tinggal buka gadget, ketik  Google, urusan beres. Dan, dia tak biasa melakukan diskusi bersama sejawatnya, karena Google sudah menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Lalu, buku-buku yang terbit berasal dari penulis-penulis sampah. Yang menceritakan cinta-cinta yang tak terbalas, mendadak puitis tengah malam. Anak saya nanti akan menjadi pembaca sampah yang tiap malam merasa galau. Padahal siang baik-baik saja. Bajingan.

Saya semakin ngeri untuk mengulas imajinasi saya tentang beberapa tahun yang akan datang, yang mana, manusia akan menyembah teknologi. Tak peduli dengan sekitar, tak ada tenggang rasa yang sudah di ajarkan di mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

Yang, membuat saya tetap tenang, Tuhan tidak mengubah caraNya,  untuk kami menyembahnya. Tidak menambahi dan tidak mengurangi. Mesti moderenisasi semakin tumbuh.

Eh..Saya tak yakin ini moderenisasi melainkan kembalinya manusia primitif. Ya Tuhan...


0 komentar:

Posting Komentar